Minggu, 03 Oktober 2010

fracture femur

LAPORAN PENDAHULUAN
POST OP FRACTURE FEMUR DEXTRA
A. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. . (Brunner & Suddart, 2001)
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian), dan biasanya lebih banyak dialami oleh laki-laki dewasa.


B. Etiologi
Menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
a. Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang pata secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya.
b. Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
2. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut :
a. Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali dan progresif.
b. Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
c. Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
3. Secara spontan : disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.

C. Kalsifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
1. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
a. Fraktur komplit adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran (bergeser dari posisi normal).

b. Fraktur tidak komplit adalah patah yang hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang. Seperti :
Greenstick adalah fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya membengkok.
2. Berdasarkan sifat fraktur.
a. Fraktur tertutup (fraktur simple) tidak menyebabkan robeknya kulit.
b. Fraktur terbuka (fraktur kompleks) merupakan fraktur dengan luka pada kulit atau membrane mukosa sampai ke patahan tulang.
Fraktur terbuka dibagi menjadi 3 grade:
1) Grade I
a) Luka bersih panjangnnya kurang dari 1 cm
b) Kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk.
c) Fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan.
d) Kontaminasi ringan.
2) Grade II
a) Laserasi lebih dari 1 cm
b) Luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak ekstensif, avulse
c) Fraktur komuniti sedang.
3) Grade III
Luka yang sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan lunak ekstensif

3. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma.
a. Transversal
Fraktur sepanjang garis tengan tulang
b. Oblik
Fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang (lebih tidak stabil disbanding transversal)
c. Spiral
Fraktur memuntir seputar batang tulang
d. Kompresi
Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang)
e. Avulsi
Tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendo pada perlekatannya
4. Berdasarkan jumlah garis patah.
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.
5. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokai ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
d) Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
e) Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang
f) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
Jenis yang lain :
1. Depresi
Fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam (sering terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah)
2. Epifiseal
Fraktur melalui epifisis
3. Impaksi
Fraktur di mana fragmen tulang terdorong kefragmen tulang lainnya.


D. Patofisiologi
Proses penyembuhan luka terdiri dari beberapa fase yaitu :
1. Fase hematum
a. Dalam waktu 24 jam timbul perdarahan, edema, hematume disekitar fraktur
b. Setelah 24 jam suplai darah di sekitar fraktur meningkat
2. Fase granulasi jaringan
a. Terjadi 1 – 5 hari setelah injury
b. Pada tahap phagositosis aktif produk neorosis
c. Itematome berubah menjadi granulasi jaringan yang berisi pembuluh darah baru fogoblast dan osteoblast.
3. Fase formasi callus
a. Terjadi 6 – 10 harisetelah injuri
b. Granulasi terjadi perubahan berbentuk callus
4. Fase ossificasi
a. Mulai pada 2 – 3 minggu setelah fraktur sampai dengan sembuh
b. Callus permanent akhirnya terbentuk tulang kaku dengan endapan garam kalsium yang menyatukan tulang yang patah
5. Fase consolidasi dan remadelling
a. Dalam waktu lebih 10 minggu yang tepat berbentuk callus terbentuk dengan oksifitas osteoblast dan osteuctas.
(Black, 1993 : 19 ).

E. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstermitas, krepitus, pembengkakan local. dan perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat mau pun teraba) ekstermitas yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan ekstermitas normal. Ekstermitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada intregitas tulang tempat melengketnya otot.
3. Pada fraktur yang panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2, 5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).
4. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu sama dengan lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan foto radiologi dari fraktur : menentukan lokasi, luasnya
2. Pemeriksaan jumlah darah lengkap
3. Arteriografi : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
4. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal

G. Komplikasi
Pada kasus ini jarang sekali terjadi komplikasi karena incisi relatif kecil dan fiksasi cenderung aman. Komplikasi akan terjadi bila ada penyakit penyerta dan gangguan pada proses penyambungan tulang.

H. Penatalaksanaan
Prinsip dari penanganan adalah :
1. Mobilisasi berupa latihan-latihan seluruh sistem gerak untuk mengembalikan fungsi anggota badan seperti sebelum patah.
a. Static contraction
Static contraction merupakan kontraksi otot secara isometrik untuk mempertahankan kestabilan tanpa disertai gerakan (Priatna, 1985). Dengan gerakan ini maka akan merangsang otot-otot untuk melakukan pumping action sehingga aliran darah balik vena akan lebih cepat. Apabila sistem peredaran darah baik maka oedema dan nyeri dapat berkurang.
b. Latihan pasif
Merupakan gerakan yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan dari luar sedangkan otot penderita rileks (Priatna, 1985). Disini gerakan pasif dilakukan dengan bantuan terapis.


c. Latihan aktif
Latihan aktif merupakan gerakan murni yang dilakukan oleh otot-otot anggota tubuh pasien itu sendiri. Tujuan latihan aktifmeningkatkan kekuatan otot (Kisner, 1996). Gerak aktif tersebut akan meningkatkan tonus otot sehingga pengiriman oksigen dan nutrisi makanan akan diedarkan oleh darah. Dengan adanya oksigen dan nutrisi dalam darah, maka kebutuhan regenerasi pada tempat yang mengalami perpatahan akan terpenuhi dengan baik dan dapat mencegah adanya fibrotic.
d. Latihan jalan
Salah satu kemampuan fungsional yang sangat penting adalah berjalan. Latihan jalan dilakukan apabila pasien telah mampu untuk berdiri dan keseimbangan sudah baik. Latihan ini dilakukan secara bertahap dan bila perlu dapat menggunakan walker. Selain itu dapat menggunakan kruk tergantung dari kemampuan pasien. Pada waktu pertama kali latihan biasanya menggunakan teknik non weight bearing ( NWB ) atau tanpa menumpu berat badan. Bila keseimbangan sudah bagus dapat ditingkatkan secara bertahap menggunakan partial weight bearing ( PWB ) dan full weight bearing ( FWB ). Tujuan latihan ini agar pasien dapat melakukan ambulasi secara mandiri walaupun masih dengan alat bantu.
2. Mencegah infeksi pada daerah luka jahitan.

I. Asuhan Keperawatan
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.


1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.

b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
i. Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
ii. Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
iii. Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
iv. Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
v. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari. (Ignatavicius, Donna D, 1995)
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995).
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. (Keliat, Budi Anna, 1991)
(4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 1999).
(5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakuatan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif (Ignatavicius, Donna D, 1995).
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien (Ignatavicius, Donna D, 1995).

2) Pemeriksaan Fisik
a) Gambaran Umum
(1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
(a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.

(2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala
(c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
(d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
(e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan)
f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
(i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.



(j) Paru
(1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(k) Jantung
(1) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2) PalpasiTes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(3) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l) Abdomen
(1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(3) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4) Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
(m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.

3) Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral.
b) Pemeriksaan Laboratorium
1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c) Pemeriksaan lain-lain
1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.(Ignatavicius, Donna D, 1995)
b. Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan dan dianaisa untuk menemukan masalah kesehatan klien. Untuk mengelompokkannya dibagi menjadi dua data yaitu, data sujektif dan data objektif, dan kemudian ditentukan masalah keperawatan yang timbul.

2. Diagnosa Keperawatan
Merupakan pernyataan yang menjelaskan status kesehatan baik aktual maupun potensial. Perawat memakai proses keperawatan dalam mengidentifikasi dan mengsintesa data klinis dan menentukan intervensi keperawatan untuk mengurangi, menghilangkan, atau mencegah masalah kesehatan klien yang menjadi tanggung jawabnya.
Diagnosa yang sering muncul antara lain:
a. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri,pembengkakan, prosedur bedah,immobilisasi.
b. Nyeri akut b/d trauma jaringan syaraf
c. Ansietas b/d adanya ancaman terhadap konsep diri/citra diri
d. Nutrisi kurang dari kebutuhan b.d. mual, muntah
e. Risti infeksi b.d. inflamasi bakteri ke daerah luka

3. Perencanaan
a. Nyeri akut b/d agen injuri biologis
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 X 24 jam klien mampu mengontrol nyeri, dengan kriteria hasil :
1) Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol
2) Mengikuti program pengobatan yang diberikan
3) Menunjukan penggunaan tekhnik relaksasi


Intervansi :
1) Kaji tipe atau lukasi nyeri. Perhatikan intensitas pada skala 0-10. Perhatikan respon terhadap obat.
Rasional : Menguatkan indikasi ketidaknyamanan, terjadinya komplikasi dan evaluasi keevektivan intervensi.
2) Motivasi penggunaan tehnik menejemen stres, contoh napas dalam dan visualisasi.
Rasional : Meningkatkan relaksasi, memvokuskan kembali perhatian, dan dapat meningkatkan kemampuan koping, menghilangkan nyeri.
3) Kolaborasi pemberian obat analgesic
Rasional : mungkin dibutuhkan untuk penghilangan nyeri/ketidaknyamanan.
b. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri,pembengkakan, prosedur bedah.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3X24 jam klien mampu :
1) Klien berpartisipasi dalam mobilitas fisik
2) Klien mampu melakukan Range Of Motion (ROM)
3) Klien mampu mobilisasi dengan menggunakan alat bantu
Intervensi :
1) Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik.
Rasional : meningkatkan kepercayaan diri klien dalam menjalankan rencana tindakan yang akan diintruksikan perawat
2) Instruksikan pasien untuk latihan rentang gerak pada ekstremitas.
Rasional : memperlancar peredaran darah pada bagian ektrimitas klien
3) Berikan/bantu dalam mobilisasi dengan kursi roda, kruk, tongkat.Instruksikan keamanan dalam menggunakan alat mobilitas.
Rasional : melatih kemandirian klien
4) Awasi TD saat beraktivitas.
Rasional : mengetahui keadaan umum klien
c. Nutisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual, muntah
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x 24 jam nutrisi pasien terpenuhi dengan KH:
1) Makanan masuk
2) BB pasien naik
3) Mual, muntah hilang
Intervensi:
1) Berikan makan dalam porsi sedikit tapi sering
Rasional: memberikan asupan nutrisi yang cukup bagi pasien
2) Sajikan menu yang menarik
Rasional: Menghindari kebosanan pasien, untuh menambah ketertarikan dalam mencoba makan yang disajikan
3) Pantau pemasukan makanan
Rasional: Mengawasi kebutuhan asupan nutrisi pada pasien
4) Kolaborasi pemberian suplemen penambah nafsu makan
Rasional: kerjasama dalam pengawasan kebutuhan nutrisi pasien selama dirawat di rumah sakit.
d. Ansietas b/d adanya ancaman terhadap konsep diri/citra diri
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 X 24 jam, klien memiliki rentang respon adaptif, dengan kriteria hasil :
1) Tampak relaks dan melaporkan ansietas menurun sampai dapat ditangani.
2) Mengakui dan mendiskusikan rasa takut.
3) Menunjukkan rentang perasaan yang tepat.


Intervensi :
1) Dorong ekspresi ketakutan/marah
Rasional : Mendefinisikan masalah dan pengaruh pilihan intervensi.
2) Akui kenyataan atau normalitas perasaan, termasuk marah
Rasional : Memberikan dukungan emosi yang dapat membantu klien melalui penilaian awal juga selama pemulihan
3) Berikan informasi akurat tentang perkembangan kesehatan.
Rasional : Memberikan informasi yang jujur tentang apa yang diharapkan membantu klien/orang terdekat menerima situasi lebih evektif.
4) Dorong penggunaan menejemen stres, contoh : napas dalam, bimbingan imajinasi, visualisasi.
Rasional : membantu memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi, dan meningkatkan penigkatan kemampuan koping.
e. Risiko infeksi berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan akibat prosedur pembedahan.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3X24 jam resiko infeksi berkurang ditandai dengan :
1) Luka bersih
2) Tidak ada pus atau nanah
3) Luka kering
Intervensi
1) Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik
Rasional : teknik aseptic dapat mengurangi bakteri pathogen oada daerah luka.
2) Inspeksi luka,perhatikan karakteristik drainase.
Rasional : untuk mengobservasi keadaan luka, sehinggga dapat menentukan tindakan selanjutnya.
3) Awasi tanda-tanda vital.
Rasional : tanda-tanda vital untuk mengetahui keadaan umum klien
4) Kalaborasi Pemberian antibiotik.
Rasional : antibiotic dapat membunuh bakteri yang dapat menyebabkan infeksi.
f. Kerusakan Integritas Kulit Atau Jaringan Berhubungan dengan pelepasan Pen, Kawat, Sekrup
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai dengan Kriteria Hasil :
1) tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
2) luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
3) Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi :
1) Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
Rasional : mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.
2) Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
Rasional: mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
3) Pantau peningkatan suhu tubuh.
Rasional : suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan.
4) Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril, gunakan plester kertas.
Rasioanl: tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi.
5) Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
Rasional: agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal lainnya.
6) Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
Rasional: balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi.
7) Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
Rasional: antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko terjadi infeksi.
4. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah pemberian asuhan keperawatan secara nyata berupa serangkaian kegiatan sistimatis berdasarkan perencanaan untuk mencapai hasil yang optimal. Pada tahap ini perawat menggunakan segala kemampuan yang dimiliki dalam melaksanakan tindakan keperawatan terhadap klien baik secara umum maupun secara khusus pada klien post op remove ORIF femur. Pada pelaksanaan ini perawat melakukan fungsinya secara independen, interdependen dan dependen.
Pada fungsi independen adalah mencakup dari semua kegiatan yang diprakarsai oleh perawat itu sendiri sesuai dengan kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya. Pada fungsi interdependen adalah dimana fungsi yang dilakukan dengan bekerja sama dengan profesi/ disiplin ilmu yang lain dalam keperawatan maupun pelayanan kesehatan, sedangkan fungsi dependen adalah fungsi yang dilaksanakan oleh perawat berdasarkan atas pesan orang lain.
5. Evaluasi
a. Nyeri klien berkurang dengan skala 1-2
b. Nutrisi klien terpenuhi
c. Tidak terjadi kerusakan integritas kulit
d. Klien tidak merasa cemas
e. Tidak terjadi infeksi
f. Klien dapat mobil menggunakan alat bantu

1 komentar:

perawat

perawat
bersama