Rabu, 05 Mei 2010

Untitled













Cedera Kepala



 



Tengkorak sebagai pelindung jaringan otak
mepunyai daya elastisitas untuk mengatasi trauma bila dipukul atau terbentur
benda tumpul. Namun pada benturan, beberapa mili detik akan terjadi depresi
maksimal dan diikuti osilasi. Trauma pada kepala dapat menyebabkan fraktur pada
tengkorak dan trauma jaringan lunak/otak atau kulit seperti kontusio/memar
otak, oedem otak, perdarahan dengan derajat yang bervariasi tergantung pada
luas daerah trauma.



Klasifikasi  Cedera Kepala



Berat ringannya
cedera kepala bukan didasarkan berat ringanya gejala yang muncul setelah cedera
kepala (Alexander PM, 1995). Ada berbagai klasifikasi yang dipakai dalam
penentuan derajat cedera kepala. The Traumatic Coma Data Bank  mendifinisikan berdasarkan skor Skala Koma
Glasgow (Glasgow coma scale)



Tabel 1.       Kategori Penentuan
Keparahan cedera Kepala    berdasarkan
Nilai Skala Koma Glasgow (SKG)





















Penentuan


keparahan



Deskripsi



Minor/
Ringan



SKG 13 – 15


Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau
amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
Tidak ada fraktur tengkorak,
tidak ada kontusia cerebral, hematoma



Sedang



SKG 9 – 12


Kehilangan kesadaran dan atau amnesia
lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
Dapat mengalami fraktur
tengkorak.



Berat



SKG 3 – 8


Kehilangan kesadaran dan atau terjadi
amnesia lebih dari 24 jam.
Juga meliputi kontusia serebral, laserasi
atau hematoma intrakranial




sumber :keperawatan kritis, pendekatan
holostik vol, II tahun 1995, hal:226



Tabel 2. Skala Koma Glasgow (Blak, 1997)





















1.        
Membuka Mata


Spontan


Terhadap
rangsang suara


Terhadap
nyeri


Tidak
ada



 


4


3


2


1



2.        
Respon Verbal


Orientasi
baik


orientasi
terganggu


Kata-kata
tidak jelas


Suara
Tidak jelas


 Tidak ada respon



 


5


4


3


2


1



3.        
Respon Motorik


Mampu
bergerak


Melokalisasi
nyeri


Fleksi
menarik


Fleksi
abnormal


Ekstensi


Tidak
ada respon



 


6


5


4


3


2


1



Total



3 - 15




 



Annegers et al
(1998) membagi trauma kepala berdasarkan lama tak sadar dan lama amnesis pasca
trauma yang dibagi menjadi:



1.    
Cedera
kepala ringan, apabila kehilangan kesadaran dan amnesia berlangsung kurang dari
30 menit.



2.    
Cedera
kepala sedang, apabila kehilangan kesadaran atau amnesia terjadi 30 menit
sampai 24 jam atau adanya fraktur tengkorak.



3.    
Cedera
kepala berat, apabila kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24 jam,
perdarahan subdural dan kontusio serebri.



Penggolongan cedera kepala
berdasarkan periode kehilangan kesadaran ataupun amnesia saat ini masih
kontroversional dan tidak dipakai secara luas. Klasifikasi cedera kepala
berdasarkan jumlah Skala Koma Glasgow (SKG) saat masuk rumah sakit merupakan
definisi yang paling umum dipakai (Hoffman, dkk, 1996).



 



Patofisiologi



Patofisiologis dari cedera
kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan proses sekunder. Kerusakan yang
terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan dengan suatu trauma yang
relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian besar daerah
otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak, terutama
pada kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan
tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson
difus pada substasi alba subkortex adalah penyebab utama kehilangan kesadaran
berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak komplit yang
merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala traumatik berat.



 



Proses Primer



Proses primer timbul langsung
pada saat trauma terjadi. Cedera primer biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan
difus (jejas akson difus).Proses ini adalah kerusakan otak tahap awal yang
diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat kerusakan tergantung
pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan dan
perlambatan gerak kepala. Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak,
perdarahan segera intrakranial, robekan regangan serabu saraf dan kematian
langsung pada daerah yang terkena.



 



Proses Sekunder



Kerusakan sekunder timbul
beberapa waktu setelah trauma menyusul kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi
penyebab sistemik dari intrakranial. Dari berbagai gangguan sistemik, hipoksia
dan hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti. Hipotensi menurunnya
tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi dan infark otak.
Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan berbagai faktor seperti
kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak metabolisme otak,
gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter dan radikal bebas.
Trauma saraf proses primer atau sekunder akan menimbulkan gejala-gejala
neurologis yang tergantung lokasi kerusakan.



Kerusakan sistem
saraf motorik yang berpusat dibagian belakang lobus frontalis akan
mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala kerusakan lobus-lobus
lainnya baru akan ditemui setelah penderita sadar. Pada kerusakan lobus
oksipital akan dujumpai ganguan sensibilitas kulit pada sisi yang berlawanan.
Pada lobus frontalis mengakibatkan timbulnya seperti dijumpai pada epilepsi
lobus temporalis.



Kelainan
metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala disebabkan adanya
kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian depan hipotalamus akan
terjadi hepertermi. Lesi di regio optika berakibat timbulnya edema paru karena
kontraksi sistem vena. Retensi air, natrium dan klor yang terjadi pada hari pertama
setelah trauma tampaknya disebabkan oleh terlepasnya hormon ADH dari daerah
belakang hipotalamus yang berhubungan dengan hipofisis.



Setelah kurang
lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan melalui urine dalam jumlah
berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negatif. Hiperglikemi dan
glikosuria yang timbul juga disebabkan keadaan perangsangan pusat-pusat yang
mempengaruhi metabolisme karbohidrat didalam batang otak.



Batang otak
dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan atau sekunder akibat fleksi
atau torsi akut pada sambungan serviks medulla, karena kerusakan pembuluh darah
atau karena penekanan oleh herniasi unkus.



Gejala-gejala
yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi pada lesi tranversal
dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi pada lesi
tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan tungkai kaku dalam sikap
ekstensi dan kedua lengan kaku dalam fleksi pada siku  terjadi bila hubungan batang otak dengan
korteks serebri terputus.



Gejala-gejala
Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal. Kerusakan-kerusakan saraf-saraf
kranial dan traktus-traktus panjang menimbulkan gejala neurologis khas. Nafas
dangkal tak teratur yang dijumpai pada kerusakan medula oblongata akan
menimbulkan timbulnya Asidesil. Nafas yang cepat dan dalam yang terjadi pada
gangguan setinggi diensefalon akan mengakibatkan alkalosisi respiratorik.



            Cedera otak sekunder tejadi setiap
saat setelah terjadi benturan. Factor-faktor yang menyebabkan cedera otak
sekunder adalah:



1.     
Hematoma intrakranial



a.      
Epidural



b.     
Subdural



c.      
Intraserebral



d.     
Subarahnoid



2.     
Pembengkakan otak



Mungkin terjadi dengan atau tanpa hematoma
intrakranial. Hal ini diakibatkan timbunan cairan intra atau ekstrasekuler atau
bendung vaskuler.



3.     
Herniasi : tentorial dan tonsiler



4.     
Iskhemi serebral, akibat dari:



·        
Hipoksia / hiperkarbi



·        
Hipotensi



·        
Peninggian tekanan intrakranial



5.     
Infeksi : Meningitis, abses serebri



 



Tipe trauma kepala



a.   Trauma kepala terbuka



1)      Trauma ini dapat menyebabkan fraktur
tulang tengkorak dan laserasi durameter. Kerusakan otak dapat terjadi bila
tulang tengkorak menusuk otak, misalnya akibat benda tajam atau tembakan.



2)      Fraktur linier di daerah temporal, dimana
arteri meningeal media berada dalam jalur tulang temporal, sering menyebabkan
perdarahan epidural. Fraktur linier yang melintang garis tengah, sering
menyebabkan perdarahan sinus dan robeknya sinus sagitalis superior.



3)      Fraktur di daerah basis, disebabkan karena
trauma dari atas atau kepala bagian atas yang membentur jalan atau benda diam.
Fraktur di fosa anterior, sering terjadi keluarnya liquor melalui hidung (rhinorhoe)
dan adanya brill hematom (raccon eye).



4)      Fraktur pada os petrosus, berbentuk
longitudinal dan transversal (lebih jarang). Fraktur longitudinal dibagi
menjadi anterior dan posterior. Fraktur anterior biasanya karena trauma di
daerah temporal, sedang yang posterior disebabkan trauma di daerah oksipital.



5)     
Fraktur
longitudinal sering menyebabkan kerusakan pada meatus akustikus interna,
foramen jugularis dan tuba eustakhius. Setelah 2 – 3 hari akan nampak battle
sign
(warna biru di belakang telinga di atas os mastoid) dan otorrhoe
(liquor keluar dari telinga). perdarahan dari telinga dengan trauma kepala
hampir selalu disebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak. Pada dasarnya
fraktur tulang tengkorak itu sendiri tidaklah menimbulkan hal yang emergensi,
namun yang sering menimbulkan masalah adalah fragmen tulang itu menyebabkan
robekan pada durameter, pembuluh darah atau jaringan otak.
Hal ini dapat
menyebabkan kerusakan pusat vital, saraf kranial dan saluran saraf (nerve
pathway)
.



 



b. Trauma kepala tertutup



1)   Komotio serebri (gegar otak)



Penyebab gejala komotio serebri belum
jelas. Akselerasi-akselerasi yang meregangkan otak dan menekan formotio
retikularis merupakan hipotesis yang banyak dianut. Setelah penurunan kesadaran
beberapa saat pasien mulai bergerak, membuka matanya tetapi tidak terarah,
reflek kornea, reflek menelan dan respon terhadap rasa sakit yang semula hilang
mulai timbul kembali. Kehilangan memori yang berhubungan dengan waktu sebelum
trauma disebut amnesia retrograde. Amnesia post traumatic ialah kehilangan
ingatan setelah trauma, sedangkan amnesia traumatic terdiri dari amnesia
retrograde dan post traumatic.



2)     
Edema serebri traumatic



 Otak dapat menjadi sembab tanpa disertai
perdarahan pada trauma kapitis terutama pada anak-anak. Pingsan dapat
berlangsung lebih dari 10 menit, tidak dijumpai tanda-tanda kerusakan jaringan
otak. Pasien mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah. Pemeriksaan cairan
otak mungkin hanya dijumpai tekanan yang agak meningkat.



3)     
Kontusio serebri



Kerusakan jaringan otak disertai
perdarahan yang secara makroskopis tidak mengganggu jaringan. Kontosio sendiri
biasanya menimbulkan defisit neurologis jika mengenai daerah motorik atau
sensorik otak.



Kontusio serebri murni biasanya jarang
terjadi. Diagnosa kontusio serebri meningkat sejalan dengan meningkatnya
penggunaan CT scan dalam pemeriksaan cedera kepala. Kontusio serebri sangat
sering terjadi difrontal dan labus temporal, walaupun dapat terjadi juga pada
setiap bagian otak, termasuk batang otak dan serebelum. Batas perbedaan antara
kontusio dan perdarahan intra serebral traumatika memang tidak jelas. Kontusio
serebri dapat saja dalam waktu beberapa jam atau hari mengalami evolusi
membentuk pedarahan intra serebral (ATLS 1997).



    
4)  Perdarahan  Intrakranial



a)   Perdarahan
Epidural



Perdarahan epidural terletak diantara dura
dan calvaria. Umumnya terjadi pada regon temporal atau temporopariental akibat
pecahnya anteri meningea media (Sudiharto 1998). Manifestasi klinik berupa
gangguan kesadaran sebentar dan dengan bekas gejala (interval lucid) beberapa
jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran progesif disertai kelainan
neurologis unilateral. Kemudian gejala neurologis timbul secara progesif berupa
pupil anisokor, hemiparese, papiledema dan gajala herniasi transcentorial.



Perdarahan epidural di fossa posterior
dengan perdarahan berasal dari sinus lateral, jika terjadi di oksiput akan
menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri kepala, muntah ataksia serebelar dan
paresis nervi kranialis.
Ciri perdarahan epidural berbentuk bikonveks
atau menyerupai lensa cembung.



b)    
Perdarahan Subdural



Terjadi antara duramater dan arachnoid.
Perdarahan subdural lebih biasa terjasi perdarahan epidural (30 % dari cedera
kepala berat). Umumnya perdarahan akibat pecahnya/robeknya vena-vena jembatan
yang terletak antara kortek serebri dan sinus venosa tempat vena tadi bermuara,
namun dapat pula terjadi akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaaan otak.



Gejala yang sub akut tidak sejelas yang gejala
akut. Perdarahan subdural menjadi simptomatik dalam 3 hari disebut akut, jika
gejala timbul antarqa 3 sampai 21 hari disebut subakut, sedangkan lebih dari 21
hari disebut kronik.



 Gejala yang paling sering pada akut adalah
nyeri kepala, mengantuk, agitasi cara berpikir yang lambat dan bingung. Gejala
yang paling sering pada kronik adalah nyeri kepala yang semakin berat, cara
berpikir yang lambat, bingung, mngantuk. Pupil edema dapat terjadi dan
pupilipsilateral dilatasi dan refleka cahaya menurun, Hemiparese sebagai tanda
akhir biasa ipsilateral atau kontralateral tergantung pada a[akah lobus
temporal mengalami herniasi melalui celah tentorum dan menekan pendukulus
serebri kontralateral.



Perdarahan subdural biasanya menutupi
seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan
prognosinyapun jauh lebih buruk daripada perdarahan epidural.



c)     
Perdarahan subarahnoid



Perdarahan subaranoid sering terjadi pada
trauma kapitis. Secara klinis mudah dikenali yaitu ditemukannya kaku kuduk, nyeri
kepala, gelisah, suhu badan subfebril.



Gejalanya
menyerupai meningitis. Perdarahan yang besar dapat disertai koma. Pedarahan
terjadi didalam ruang subarahnoid karena robeknya pembuluh darah yang berjalan
didalamnya. darah tercampur dengan cairan otak. Adanya darah didalam liquor
serebri spinal akan merangsang meningia sehingga terjadi kaku kuduk.



 



Manifestasi Klinis


1.     
Gangguan kesadaran



2.     
Konfusi



3.     
Abnormalitas pupil



4.     
Awitan tiba-tiba defisit neurologik



5.     
Perubahan tanda vital



6.     
Gangguan penglihatan dan pendengaran



7.     
Disfungsi sensory



8.     
Kejang otot



9.     
Sakit kepala



10.  Vertigo



11.  Gangguan
pergerakan



12.  Kejang



 



Evaluasi Diagnostik


1.     
CT scan



2.     
MRI



3.     
Angiografi cerebral



 



Penatalaksanaan



1.     
Tindakan terhadap peningkatan TIK



a.      
pemantauan TIK dengan ketat



b.     
oksigenasi adekuat



c.      
pemberian mannitol



d.     
penggunaan steroid



e.      
peningkatan kepala tempat tidur



f.      
bedah neuro



2.     
Tindakan pendukung lain



a.      
dukungan ventilasi



b.     
pencegahan kejang



c.       pemeliharan cairan, elektrolit, dan
keseimbangan nutrisi



d.     
terapi antikonvulsan



e.      
klorpromazin untuk  menenangkan pasien



f.      
selang nasogastrik



 



 



Proses
Penatalaksanaan pada Trauma Kepala yang Memerlukan Tindakan Bedah  Saraf :



Penatalaksanaan trauma kepala yang memerlukan
tindakan bedah saraf, merupakan proses yang terdiri dari serangkaian tahapan
yang saling berkaitan satu sama lain, sehingga sampai pada pengambilan putusan
untuk melakukan tindakan pembedahan.
Dalam hal ini meliputi 4 tahapan,
tahapan-tahapan tersebut meliputi:



1.     
Tahap I



a.      
Penilaian awal dan Pertolongan pertama



Penilaian awal, prioritas
penilaian :



·        
Airway



·        
Breathing



·        
Circulation



·        
Periksa
adanya kemungkinan kelainan atau perdarahan



·        
Tentukan
hal-hal sebagai berikut:



§   Lamanya
tak sadar



§   Lamanya
amnesia post-trauma



§   Sebab-sebab
cedera



§   Adanya
nyeri kepala, muntah



·        
Pemeriksaan fisik umum dan neurologik



Pertolongan pertama
yang segera dilakukan bila terjadi gangguan pernafasan, sirkulasi dan atau
gangguan kesadaran:



·        
Membebaskan
jalan nafas agar tetap terbuka dan bebas



·        
Mengontrol atau mengendalikan perdarahan



·        
Menanggulangi renjatan (shock)



·        
Monitor EKG



b.     
Diagnosis



·        
Pemeriksaan Laboratorium



Hb,
hematokrit, eritrosit, lekosit, trombosit, elektrolit, gula darah, BUN, ureum,
kreatinin, masa perdarahan dan penjendalan, golongan darah dan AGD.



·        
Pemeriksaan penunjang yang khusus



§   Foto kepala



§   Foto servikal



§   Pada
trauma multiple perlu dilakukan foto abdomen dan ekstremitas



§   Angiografi Serebral



§   CT scan



§   Burr holes/trepanasi eksplorasi



c.       Indikasi Konsultasi Bedah Saraf (Teddy
& Anslew, 1989)



·        
Coma
yang berlangsung lebih dari 6 jam



·        
Penurunan
kesadaran atau gangguan neurologik progresif



·        
Penderita
belum sadar kembali setelah dirawat 24 jam



·        
Adanya
tanda-tanda neurologik fokal, termasuk yang sudah ada sejak saat terjadinya
cedera kepala.



·        
Adanya
kejang fokal atau umum setelah trauma.



·        
Fraktur impresi terbuka / tertutup



·        
Perdarahan intrakranial



2.      Tahap II: Observasi perjalanan klinis dan
Perawatan suportif



3.     
Tahap III



a.      
Indikasi pembedahan



·        
Perlukaan pada kulit kepala



·        
Fraktur tulang kepala



·        
Hematoma intrakranial



·        
Kontusio
jaringan otak yang mempunyai diameter > 1 cm dan atau laserasi otak



·        
Subdural higroma



·        
Kebocoran cairan serebrospinal



b.     
Kontaindikasi



·        
Adanya
tanda-tanda renjatan (Shock), ini biasanya bukan karena trauma kepalanya tetapi
karena sebab-sebab lain, misalnya ruptur alat viscera (Hepar, lien, ginjal)
atau fraktur berat pada ekstremitas.



·        
Penderita
dengan trauma kepala yang pada waktu masuk rumah sakit pupil sudah dilatasi
maksimal dan reaksi cahaya negatif, denyut nadi dan respirasi irregular.



c.      
Tujuan Pembedahan



·        
Untuk
mengeluarkan bekuan darah dan atau jaringan otak yang nekrotik



·        
Untuk
mengangkat bagian tulang yang menekan atau masuk ke jaringan otak



·        
Untuk mengurangi tekanan intrakranial



·        
Untuk mengontrol perdarahan



·        
Untuk menutup durameter atau memperbaiki
durameter yang rusak



·        
Menutup defek pada kulit kepala untuk mencegah
infeksi atau untuk kepentingan segi kosmetik.



d.     
Persiapan Pembedahan



·        
Mempertahankan
jalan nafas agar tetap bebas



·        
Pasang infus



·        
Observasi tanda-tanda vital



·        
Pemeriksaan laboratorium



·        
Pemberian antibiotik profilaksi



·        
Pasang kateter



·        
Pasang NGT



·        
Terapi untuk menurunkan TIK



·        
Pemberian antikonvulsan



4.     
Tahap IV



a.      
Pembedahan spesifik



·        
Perlukaan
pada kulit prinsipnya dilakukan “debridemen”



·        
Pada
lesi desak ruang intrakranial traumatic pada prinsipnya dilakukan kraniotomi
yang cukup luasnya.



§   Pada
Hematom Epidural biasanya dilakukan.



-         
Trepanasi



-         
Kraniotomi yang diperluas dengan kraniektomi



Bila diagnosa dengan CT scan
yang menunjukkan lesi dengan jelas, cukup dengan kraniotomi yang terbatas. Pada
epidural hematom yang lebih tebal <1,5 – 1 cm, belum perlu tindakan operasi.



§   Pada
Hematom Subdural



Pada Hematom
Subdural akut senantiasa diperlukan kraniotomi yang luas. Tindakan kraniektomi
atau membuat lubang bur tidak dianggap cukup, ini hanya hematom subdural yang
kronis.



§   Pada
Hematom intraserebral dan kontusio serebri dengan efek massa yang jelas



Dilakukan tindakan kraniotomi
yang cukup luas.



-         
Bila
terdapat kontusio dengan diameter > 1 cm, dipermukaan korteks hendaknya
diisap sampai batas jaringan otak yang sehat.



-         
Menimbulkan efek massa
yang jelas



-         
Menyebabkan penyimpangan garis tengah > 4-5 mm



-         
Volume diperkirakan > 30 cc atau diameter > 3 cm



-         
Menunjukkan
peninggian tekanan intrakarnial > 30 mmHg dan atau berkaitan dengan gangguan
neurologik yang progresif.



Pada hematoma
intraserebral yang kronis dapat dilakukan dengan trepanasi secara konvensional
dan aspirasi.



§   Pada intraventrikuler hematoma



-         
Kraniotomi – aspirasi hematom



-         
Trepanasi – drenase ventrikuler



-         
Bila
timbul tanda-tanda hidrosefalus, dilakukan ventrikulo-peri-toneal shunt.



Prognosis buruk bila GCS <
8 pada saat masuk dirawat. Bila GCS > 8 prognosis lebih baik kira-kira 86 %
hidupnya tidak tergantung orang lain.



§   Pada
subdural higroma



§   Pada
Rhinorrhea



§   Pada
Laserasi otak



§   Pada
fraktur tulang kepala terbuka



§   Pada
fraktur yang menekan tertutup



b.      Evaluasi: komplikasi yang perlu
diperhatikan:



·        
Perdarahan ulang



·        
Kebocoran cairan otak



·        
Infeksi pada luka atau sepsis



·        
Timbulnya edema serebri



·        
Timbulnya
edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK



·        
Nyeri kepala setelah penderita sadar



·        
Konvulsi



c.      
Outcome



Outcome akibat trauma kepala, walaupun sudah
dilakukan tindakan operasi tergantung beberapa factor diantaranya:



·        
Saat dilakukan operasi



·        
Tergantung pada penilaian tingkat kesadaran



·        
Faktor usia



·        
Tergantung
tanda-tanda vital waktu masuk



·        
Tergantung pada peninggian intrakranial



·        
Tergantung
pada factor hematom: jenis, sifatnya, volume dan lokalisasinya, misalnya:



§   Outcome
epidural hematom dengan kontusio serebri lebih buruk daripada kalau hanya ada
epidural hematomnya (Guillermann, 1996)



§   Volume
hematom epidural (EDH)



EDH
< 50 cc         dengan      mortalitas 12 %



EDH
50 – 100 cc dengan      mortalitas  33 %



EDH
> 100 cc       dengan      mortalitas  66 %



 



 



 



 



 



A.    Asuhan Keperawatan



 



Diagnosa
keperawatan yang sering muncul pada klien dengan cidera kepala :



  1. Resiko tidak efektifnya pola
    pernafasan berhubungan dengan disfungsi neuromuskuler
  2. Resiko peningkatan tekanan intrakranial
    berhubungan dengan adanya proses desak ruang akibat penumpukan cairan
    /darah di dalam otak
  3. Defisit volume cairan berhubungan
    dengan penurunan produksi antidiuretik hormon akibat terfiksasinya
    hipotalamus
  4. Resiko keseimbangan nutrisi kurang
    dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan melemahnya otot yang dipergunakan
    untuk mengunyah dan menelan
  5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan
    dengan perubahan persepsi sensori dan kognitif, penurunan kekuatan dan
    ketahanan
  6. Perubahan persepsi sensori
    berhubungan dengan menurunnya tingkat kesadaran
  7. Nyeri akut (nyeri kepala, pusing)
    berhubungan dengan kerusakan jaringan otak dan peningkatan tekanan
    intrakranial
  8. Cemas dari keluarga berhubungan
    dengan ketidakpastian terhadap pengobatan dan perawatan serta adanya
    perubahan situasi dan krisis  


 



 



Blogged with the Flock Browser

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

perawat

perawat
bersama